Minggu, 13 Januari 2013

Aku dan Asapku



Pagi ini muncul dari seperempat matahari yang membangunkan aku dari ketidaksadaran malam. Dengan membukakan mata sebagai penanda, pagi membawaku untuk hidup hari ini.  Ini merupakan hal yang buruk untuk sekarang, karena bagaimanapun seharusnya bukan pagi yang membangunkan aku, tapi microphonelah yang semestinya aku dengar lalu mencari air dan bersyukur atas nikmat hidup yang diberikan untuk hari ini. Walaupun begitu, tetaplah aku harus bersyukur kepadamu, karena dirimu masih bisa memberikan aku kesempatan, kesempatan untuk seraya mengabdi dan melakukan kebajikan, serta bersabar dalam kejadian yang akan menimpa.
Secangkir kopi dan dua batang rokok sebagai teman untuk pagi ini, salah satunya sudah habis saya hisap, sedangkan satu lagi masih tetap diam di atas meja. Artinya, saya masih punya satu batang rokok, tapi sayang kalau langsung aku hisap. Emhh,, tapi dia termasuk barang yang makruh, dan kata Ayah saya barang makruh itu mesti kita bakar. Kalo saya bakar, berarti tinggal menunggu waktu untuk jadi celacah, dan itu tidak bisa didaur ulang, kalau pun nanti ada yang mau mendaur ulang silahkan dengan satu syarat, biar saya yang menghisapnya.
Melirik ke arah samping kanan meja, di sana terdapat satu wadah sebagai penampungan hasil dari mulut yang monyong; asap yang pergi entah kemana; filter yang tidak terbakar menjadi kotoran; dan butiran celacah berwarna putih, terlihat kasar tapi kalo disentuh memberikan aroma yang tidak sedap. Emh... Seperti yang saya bilang, wadah itu berjarak sejengkal pergelangan tangan kananku dari mesin ketik ini. Jarak yang sangat ideal untuk berpacaran, tapi sayang apa mesti saya pacari wadah itu. Hah jangankan mau merayunya, mendekatinya pun tak sedap. Ternyata cukup cukup cukup bau....!!! Pantas saja orang menyebut perokok itu bau mulutnya. Waduhhh.. aku baru sadar. Anehnya sudah tahu perokok itu bau mulutnya ini masih ada aja orang yang mau dekat dengannya, malahan ada juga yang mau berpacaran dengan sang perokok... Inilah kehidupan, kadang hal yang kita tidak sukai dari sifatnya kita butuh dari Dzatnya...
Menjelang siang, saya masih memikirkan rokok itu. Menoleh sebentar, sambil aku tanyakan padanya.
“Heh Rokok... Aku sedang memikirkanmu! Apakah kamu memikirkan aku juga?”
Saya tunggu kali saja tahun 2013 penuh dengan keajaiban, keajaiban rokok bisa berbicara. Kalau sudah begitu nanti bisa terkenal. Seperti artis-artis dari youtube yang secepatnya melangit tak lama tenggelam ke dasar lautan. Sama seperti rokok yang sebelumnya sudah saya hisap, yang tersisa cuman celacah dan filter yang bengkok. Kemana dia pergi tidak tau, kenapa dia seperti itu pun kita tidak tau. Mitosnya merokok itu bisa mengakibatkan serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin, dan yang lainnya. Tapi itu buat yang sakit. Kalau yang belum sakit, merokok itu bisa memberikan udara yang tidak sedap, bau mulut dan filter yang bengkok berserta serpihan bubuk celacah yang harus dihindarkan dari berbagai udara maupun angin karena bakalan membuat mata merasa pedih dan hidung tiba-tiba tertutup.
Melihat sebentar,, mana suara dari rokok itu.. Lebih baik saya tanyakan kembali.
“Heh Rokok... Aku sedang memikirkanmu! Apakah kamu memikirkan aku juga?”
Emhh.. kata orang kalau kita inginkan sesuatu, maka kita harus pintar mencarinya dan pintar merayunya. Apakah perlu untuk saya merayu sebatang rokok.. ya sudahlah karena pada dasarnya aku inginkan jawaban darinya. Sebaiknya aku merayunya...
“Wahai wujud yang ringan, putihmu adalah dzatmu. Kau temani pagi, walau kau inginkan api. Bisakah kau jawab pertanyaanku ini? Berilah jawabanmu, dengan apa yang kamu bisa beri! aku di sini sedang menunggumu untuk katakan dan untuk menunjukan. Jika Engkau pun memikirkanku.”
Selalu diam, tidak bergerak walau pun ada getaran yang kecil dari tempatku mengetik. Memberi tekanan yang sedang dia pun tetap saja diam. Jika aku berikan angin akankah kau bergerak?..... Dan nampaknya tidak, mungkin kekuatan mulutku tidak sebanding dengan kipas angin. Berarti aku harus menjadi kipas angin. Oke saya akan lakukan itu... menarik nafas lalu meniupkan padanya.
Ya... engkau bergerak. Itu tandanya kau pun sedang mendengarkanku. Sekarang saatnya kau beri jawaban. Ayolah aku butuh jawabanmu....
Saya ambil sebatang rokok itu dengan dua jari. Saya tempatkan ia tepat dihadapan mulutku. Jika kamu tidak bisa memberikan jawaban, saya akan tunjukan api dihadapanmu. Jika kau pun tidak bisa memberikan jawaban, dengan sangat menyesal saya akan membakarmu.
Lalu kuletakan rokok itu dimulutku, dan kunyalakan api sebagai teman hidupmu. Saya menghisapnya, terus menghisapnya. Dia pun mengeluarkan asapnya. Saya lihat asap, dia mengudara sedangkan saya tetap disini, dia berubah wujud menjadi celacah sedangkan saya masih tetap seperti ini.
Tiba-tiba dia memberikan jawabannya dengan beberapa bentuk yang sudah terbakar.
“Hei kamu manusia,, lihatlah aku, aku terbakar saat ini, dan kamu seenaknya saja menyentuhku dengan mulutmu yang bau. Apa kamu tidak merasakan kesakitan yang aku jalani selama ini menjadi sebuah rokok. Sesungguhnya kamu itu hanya menyapaku karena sifatku yang mudah terbakar. Dan itu bukan untuk menikmatiku tapi hanya untuk menghabiskan waktumu dan melampiaskan nafsumu. Saya ingatkan kepadamu, sejenisku telah kau bakar, dan kau hanya menyimpannya, sedangkan kau tidak melihatnya betapa dia sakit karena ulahmu. Diluar sana mereka membakarku, sudah terbakar dan sudah tersisa mereka membuangnya dengan sangat gampangnya. Kau tahu, mereka tidak tahu kemana dia akan pergi, jika hujan mereka menjadi kotoran dan kau tahu itu, itu tidak membuat mereka nyaman. Jadi jangan salahkan saya jika kotamu nanti hancur karena sejenisku. Ukuranku kecil tapi aku bisa menenggelamkan kalian”
Tidak pernah disangka sebelumnya, dia memberikan jawaban seperti itu. Pada dasarnya pernyataanku cukup gampang untuk dijawab, tapi dia memberikan jawaban yang tidak disangka. Padahal sebelumnya aku memujinya. Memang betul ternyata sifatmu yang makruh itu harus dibakar.
“Ya sudah berarti saya akan hisap dirimu!”
“Silahkan!” dia berikan jawaban dengan asapnya.
Aku hisap dirinya, dan aku tiupkan ke arah gorden jendela. Gorden itu berwarna hijau. Konon katanya rokok itu suka dengan warna hijau. Timbullah berbagai asap yang tebal serta banyak yang menghiasi gorden itu dan tak lama kemudia lenyap. Pergi entah kemana?
Aku melihat asapnya, lalu dia menertawakanku sambil mengatakan hal yang tidak saya mengerti.
“Hahaha hei manusia, kau temukan aku dalam bungkusan, kau bakar aku, kau hisap lalu kau membuangnya. Lihatlah mejamu, sudah tidak ada lagi sejenisku, sekarang kamu mau apa lagi. Aku ingatkan padamu wahai manusia. Kau membeli aku di warung ataupun pertokoan, kau gunakan aku untuk sekedar menikmati obrolan bersama teman-teman, sedikit sekali kau gunakan aku dalam sebuah pengajian. Sekedar saran, cobalah kau simpan bungkusanmu itu dalam kotak yang aman, jauh dari jangkauan anak-anak dan begitu pula jauhkan dari teman-teman. Aku sayang kalian, sayang uangmu untuk bertemu denganku. Sayang kalian karena tubuhmu bukan tempat hidupku. Sayang kalian karena aku bisa membunuhmu. Karena itulah sesekalilah kalian bertemu denganku, dan simpanlah aku. Jika kamu inginkan, aku bisa datang menemui dan itupun dengan syarat jangan terlalu banyak. Kalau kamu tidak percaya, sekarang coba tengok kembali dimana aku sebelumnya berada. Adakah saya sekarang? Kamu sekarang sendirian. Coba lihat juga kearah wadahmu. Itulah aku yang sudah kau hisap, itu bau dan sangat berbahaya. Cepatlah kau buang semuanya dalam tempat yang aman. Bakarlah kembali sehingga tidak tersisa.”
Ini sungguh menakjubkan, saat aku melihat asap dari rokok itu, diapun hilang entah kemana. Dan sekarang tinggal hisapan terakhir. Aku menikmati hisapan ini, sambil menghabiskan kopi.
Huuuuh.... selamat tinggal asap rokok, terimakasih untuk pagi sampai menjelang siang ini. Sampai bertemu kembali, jika aku mau bertemu, tapi mudah-mudahan aku tidak akan mau lagi bertemu kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar